Bagaimana seharusnya kepribadian seorang santri dalam memasuki pergulatan zaman yang semakin modern ini? Pertanyaan ini dijawab oleh Ali Faruchi, santri al Islah Assalaifiyah luwungragi Brebes dengan menguraikan kata “santri” yang ternyata mengandung makna yang mendalam. Siswa yang belajar dibawah bimbingan K.H. Syifa Kholil ini mencoba memberikan pagar kepada para santri serta alumninya untuk memegang nilai-nilai yang telah diajarkan dan tidak terkontaminasi dengan perubahan zaman, apa makna santri yang dimaksudkan? Mari kita simak tulisan aseli dari salah satu pemenang lomba Adib GJA Award ini.
Segala puji bagiAllah dzat yang membolak balikan hati yang menganugrahkan IQ kekuatan dan daya ingat manusia, Dialah (Allah) yang menciptakan manusia dari sari pati tanah kemudian diproses melalui beberapa proses, ditiupkanya ruh dan menyempurnakanya dengan memori akalnya sehingga dengan kun fayakunnya jadilah manusia dengan sebaik-baik bentuk yang bisa berfikir. Melalui maqro’nya yang tersirat maupun tak tersirat, membaca fenomena alam, rumput-rumput yang bergoyang, air mengalir, reboisasi tumbuh-tumbuhan, silih bergantiya siang dan malam, semua itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Subhaanallah,.Namun kebanyakan dari mereka (manusia) tidak tau akan tanda-tanda itu, tidak bersyukur dan tidak mau berfikir, mereka punya hati tapi tidak untuk memperasakan hatinya, punya mata tidak untuk melihat, punya telinga tidak untuk mendengar ,mereka-merekalah yang seperti binatang ternak bahkan lebih hina lagi dari padanya .Na’udzubillah Tsumma Na’udzubillah Min Dzalik.
Sholawat serta salam senantiasa kami sanjungkan kepada shohibussafa’ah orang no 1 yang paling berpengaruh sepanjag masa ,bliulah yang mereformasikan peradaban dunia islam dari kebobrokan etika dan moral, membias genderkan dan mengemansipasikan kaum hawa, bliulah yang mempunyai sifat sempurna sebagai pemimpin dengan sifat sidiq, tabligh, amanah,dan fatonahnya sehingga beliau mendapat penghargaan besar dan predikat langsung dari Allah dengan predikat yang tiada duanya ya’ni; Uswatun Khasanah dan khuluqin adzim.
Pendahuluan.
Setelah saya mentadabburi dan mencermati dari penggalan ayat “ ” عَلَّمَ بِِِاْلقَلَمْ(QS Al Alaq) dan maqolah “ “اَلعِلْمُ بِالْقَلَمْ hatiku terenyuh dan menyadari betapa berharganya dan mempunyai nilai tinggi bila mana ilmu yang telah kita dapat, difilter dan dicatat dalam sebuah memori (Book / Al qirthos) Karna dengan metode menulislah, itu termasuk salah satu tips agar ilmu itu tetap terjaga dan tidak mudah hilang, di samping itu juga, melalui tulis menulis kita bisa mengembangkan pemikiran dan imajinasi kita dan membuahkan hasil pemikiran ( natijatul fikri) yang positif dan sangat signifikan. Mengenai ayat diatas “عَلَّمَ بِاْلَقَلَمْ” Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan secara singkat dan mengaitkannya dengan sebuah atsar “قَََيِّدُوْا العِلْمَ بِاْلكِتَابَة”; Ikatlah ilmumu dengan menulis (dicatat),,. berkaitan juga dengan sebuah hadits ; “ اَلْعِلْمُ كَالََّصَيْدِ قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالحِبَالِ اْلوَاثِقَة”, “Ilmu itu bagaikan buruan, maka ikatlah buruanmu dengan tali yang sangat kuat”.dengan hal ini maka sangatlah jelas tentang ayat, hadist dan atsar diatas menyerukan kita agar mempunyai rasa Himmah dalam kiat tulis menulis. Salah satu contoh “Al Qur’an” yang dijadikan sebagai dasar hukum dan sumber dari berbagai ilmu, yang asal mulanya berceceran tertulis dibebatuan dan pelapah kurma kemudian ketika para sohabat-sohabatnya yang hafal “Al Qur’an” terintimidasi gugur dalam peperangan, sehingga dikhawatirkan “Al Qur’an” itu akan hilang (punah) pada zamanya itu, kemudian dengan inisiatif nabi Muhammad itu sendiri, beliu mengumpulkan para sohabatnya, diantaranya abu bakar kemudian ustman bin affan dan zaid bin tsabit untuk merosam (menulis) dan menkodifikasi sehingga terbentuk menjadi sebuah Al kitab yang sampai sekarang ini masih terjaga kemurnianya dan tidak terekayasa oleh tangan-tangan jahiliyah dan akan abadi sampai akhir zaman .
Terinsipirasi dengan peninggalan ulama salaf hal ini semistal imam ghozali dengan karya-karya monumentalnya“ikhya ulumuddien”,imam maliki dengan kitabnya“Muatho”,imam Syafi’i dengan kitabnya “Al umm” imam nawawi Al Bantany dengan kitabnya tafsir“Al Munir”saya termotivasi dan tergugah untuk supaya bisa menggoreskan tinta emasnya dan menghasilkan karya tulis/ilmiyah yang mudah-mudahan bisa dijadikan sebagai sumber integrasi keilmuan. Oleh karna itu dengan harapan mendapat rido dari Allah Swt, dengan niat yang tulus untuk syiar islam, penulis terobsesi dan ingin mencoba menggoreskan tintanya dalam tema ini“Santri sebagai sumber integrasi keilmuan“ dengan judul yang akan saya tulis “Hakikat kepribadian santri menurut pandangan ulama“.
Intisari
Menurut pandangan sebahagian para ulama memaknai santri dalam kepribadian yang sesungguhnya, Meninjau dari segi kata “santri“ itu sndiri, para ulama menafsirkan bahwasanya kata “santri” itu tersusun, terdiri dari beberapa huruf abjad yang masing-masing hurufnya itu mempunyai sambungan kata dan kandungan arti yang sangat mendalam, dan perlu diperhatikan bagi para santri model sekarang ,yang mana kebanyakan dari santri model zaman sekarang ini jarang mengamalkan dan mengimplementasikan dan sedikit mempunyai kepribadian yang ada dalam kandungan arti dari santri itu sendiri.bahkan mungkin sama sekali tidak mempunyai kredibilitas santri pada hakikatnya,
Kata“SANTRI” terdiri dari huruf abjad ( ا /س ن ت ر ي ) masing-masing hurufnya mempunyai sambungan kalimat dan mempunyai kandungan arti tersendiri, berikut kami rinci satu persatu :
Yang pertama huruf (S/س) mempunyai sambungan kata “ سَاتِرُوْنَ عَنِ اْلعُيُوْبْ” yaitu orang-orang yang menutupi aib orang lain. Hal ini sesuai dengan hadist yang pernah diungkapkan oleh Al alim Mu mar Ch Lc dalam kegiatan ta’limnya. Yaitu ;” مَنْ سَتَرَ عَيْبَ الْمُؤْمِنْ سَتَرَهُ اللهُ عُيُوبُهُ” ,,barang siapa yang menutupi satu aib orang mu’min maka Allah akan menutupi beberapa aib nya ,,dengan ini Allah membalas dari satu aib orang mu’min yang ditutupinya, dengan menutupi beberapa aebnya .walhasil seorang santri harus bisa menutupi aib temanya ataupun orang lain )mu’min) dan saling menjaga reputasinya masing-masing, .dan tidak menjatukan satu sama lain.
Yang kedua huruf (N/ن) mempunyai sambungan kata “نَاِئبُوْنَ عَنِ الْعُلَمَاءِ” yaitu : santri sebagai pengganti para Ulama (Generasi penerus) yang akan melanjutkan estafet perjuangan da’wah para kyai (Ulama). Karena ulama itu sendiri adalah pewaris para nabi “اَلُعُلَمَاءُ وَرَثَةُ اْلاَنْبِيَاءِ”. begitu pula santri bisa diklaim sebagai pewaris para ulama, Saya teringat ketika masih duduk dibangku MAD (Madrasah Aliyah Diniyah ) dengan penjelasan yang dipaparkan oleh Al Mukarom KH.Subkhan Ma’mun yang dimaksud ulama disini adalah : “ اَلَّلِّذِيْنَ يَنْظُرُوْنَ اْلاُمَّةْ بِِالَّرحْمَةْ” ya’ni : Orang-orang yang memandang umatnya dengan pandangan kasih sayang . seorang ulama /kyai yag sejati itu mempunyai sifat rohmah terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya ,memberikan pencerahan terhadap santrinya maupun masyarakatnya, ulama mengamalkan dan mentransfer ilmunya kepada santri-santrinya dengan harapan agar santrinya kelak menjadi orang yang berguna dan menjadi penerus/pengganti dirinya, dan menjadi inspirasi bagi masyaraakat sekitarnya, Negara maupun bangsa.
Yang ketiga huruf (T/ت) mempunyai sambungan kata “ تَاِركُوْنَ عَنِ اْلمَعَاصِى ” yaitu orang-orang yang meninggalkan ma’siat .Santri itu harus mempunyai usaha dan upaya untuk menjaga dan menguatkan fan-fan ilmunya yang sudah ia hafalkan. Karena salah satu metode untuk menguatkan hafalan itu adalah dengan meninggalkan ma’siat (Tarkul ma’ashiy). dalam hal ini imam syafi’I pernah mengadukan keluhan, tentang buruknya hafalan bliau, kepada gurunya (imam waki’) dalam bait-bait sya’irnya.
شَكَوْتُ اِلَى وَكِيْعٍ سُؤَ حِفْظِيْ # فَاَرْشَدَنِيْ اِلَى تَرْكِ اْلمَعَاصِى
فَاخْبَرَنِيْ بِاَنَّ اْلعِلْمَ نُوْرٌ # وَنُُوْرُ اللهِ لاَيُهْدَي لِلْعَاصِي
“Aku pernah mengadu kepada syekh imam waki’ tentang buruknya hafalanku
Kemudian beliau menyarankan agar aku meninggalkan ma’siat”
“Dan bliau menceritakan kepadaku bahwa sesungguhnya ilmu itu cahaya
Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang ma’siat”
Demikian pula perlu diperhatikan bahwa bahayanya ilmu itu adalah lupa ”اَفَةًُ اْلِعلْم الِّنسْيَانْ ”.Yang keempat huruf (R/ر) mempunyai sambungan kata “ الَّرَاسِخُوْنَ فِى اْلعِلْمِ ” . yaitu orang-orang yang mendalami ilmunya . para santri telah mempelajari berbagai fan-fan ilmu, namun kebanyakan dari mereka hanya sebagian saja yang mampu dikuasainya secara mendalam. Hal ini memang ada baiknya sebagaimana I’tibar yang dipaparkn oleh syekhuna Al Haj Drs. Achmad Syfa cholil Mpd,i , bahwasanya “orang yang mencari ilmu itu ibarat nelayan yang sedang mencari/menjala ikan dilaut dan mendapatkan banyak berbagi macam jenis ikan, bahkan barang-barang bekaspun masuk dalam tirai jalanya”, namun sang nelayan tetap memilih mana ikan yang lebih bagus dan lebih layak dijual , mempunyai harga yang cukup mahal dan laku dipasaran. Hal ini juga berpihak pada maqolah orang a’rif yang pernah diungkapkan oleh Ustadzuna Al haj Mu’ammar cholil Lc ,ya’ni :”Mengetahui satu hal, itu lebih baik dari pada mengetahui banyak hal” subtansinya, mengandung arti yang sangat luas,, bahwa mempelajari satu fan ilmu lebih mendalam (menguasai) itu lebih baik dari pada mempelajari berbagai macam fan ilmu, namun hanya sedikit-sedikit dan sepintas kilas saja yang mereka fahami secara perfect dan mendalam .
Yang kelima huruf (Y/ ي) merupakan huruf abjad yang terakhir, yang mempunyai sambungan kata, “ يوصل⁄ إِيْصَالُ اْلخَيْرِ لِلْغَيْرِ” yaitu : “Memberikan kebaikan /kemanfa’tan kepada orang lain “. Pernyata’an ini termasuk salah satu devinisi atau pengertian dari kemanfa’atan suatu ilmu, dan ini juga merupakan salah satu objek dan harapan bagi semua santri yang mempunyai kelurusan niatnya dalam mencari ilmu, dan keinginan untuk menjadi manusia yang tergolong dalam rankaian hadist :
“ خَيْرُ النَّاسِ اَنْفَعُهُمْ لِلنّاَسِ” .;
“Sebaik-baik manusia adalah orang yang bisa memberikan kemanfa’atan pada orang lain “
Ikhtitam Begitulah hakikat kepribadian santri menurut pandangan sebagian ulama, yang disinyalir dari penafsiran kata “SANTRI” itu sendiri, Namun tidak dapat dipunkiri melihat eksistensi santri zaman sekarang, yang hampir terkontaminasi oleh perubahan zaman yang serba modern, seperti maraknya alat-alat canggih,seperti “hp, yang hanya dalam satu genggaman tangan, bisa mengakses jaringan internet diseluruh dunia seperti jejaringan social facebook, twiter ,dan lain-lain Melihat fenomena seperti ini, bisa dianggap bahwa dunia sekarang hanya dalam satu genggaman mos,hp, atau yang sejenisnya sudah sepatutnya kita menganalisa,”sudahkah atau bisakah kita mengimplementasikan hakikat kepribadian santri yang sebenarnya.”? Ataupun, hanya beberapa persennya saja ?. kita sebagai manusia yang bisa berfikir, yang meyakinkan bahwa perubahan kepribadian seseorang akan terwujud sesuai dengan jerih payah usahanya, kita hanya sebagi manusia yang do’if hanya bisa merencanakan, gagal atau tidaknya, berhasil atau tidaknya, Allah lah yang menentukan,Dari keterangan diatas mungkin hanya beberapa persen saja yang bisa dipraktekan, namun bukan berarti suatu kegagalan masih ada kesempatan untuk berusaha semaksimal mungkin, dan bila mana memang kemampuannya hanya beberapa persennya saja itu bukan suatu hal yang sangat disayangkan, karna nabi sendiri pernah bersabda :
“ اِذا اَمَْرُتُكُمْ بِامٍْرفَاْءتُوْا مِنْهُ مَاسْتََطَعْتُم ”
“jika aku perintahkan kepadamu suatu perkara , maka laksanakanlah semampunya”Demikian pula dalam menjalankan suatu perkara yang termasuk dalam kata gori perintah (amr) kita jangan sampai menaf’ikan atau sama sekali tidak menjalankan. Dalam qo’idah fiqih disebutkan
“ كُلُّ شَيْئٍ لاَيُدْرَكُ كُلُهُ لاُيُتْرَكُ كُلُّهْ”
“segala sesuatu yang tidak bisa diraih seluruhnya maka janganlah ditinggalkan seluruhnya”
Dengan mengharap rido Allah SWT, penulis juga belum bisa
mengimplementasikan hakikat santri yang sebenarnya, penulis hanya bisa
menorehkan hasil pemikiranya melalui jari-jari kasar dan petikan keyboard
, dengan gaya bahasa seadanya, namun penulis tetap bersikeras untuk
berusaha dan berupaya untuk masa yang akan datang, agar lebih baik lagi
dari sekarang, dan tergolong menjadi orang-orang yang beruntung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar